TAMAN HEK
Tempat yang terletak antara Kantor Kecamatan Kramatjati dan
kantor Polisi Resor Kramatjati, sekitar persimpangan dari jalan Raya
Bogor ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII) terus ke Pondokgede, dikenal
dengan nama Hek. Rupanya, nama tersebut berasal dari bahasa
Belanda. Menurut Kamus Umum Bahasa Belanda – Indonesia (Wojowasito
1978:269), kata hek berarti pagar. Tetapi menurut Verklarend
Handwoordenboek der Nederlandse Taal (Koenen- Endpols, 1946:388), kata
hek dapat juga berarti pintu pagar.
|
keramat jati tempo dulu |
Dari
seorang penduduk setempat yang sudah berumur lanjut, diperoleh
keterangan, bahwa di tempat itu dahulu memang ada pintu pagar, terbuat
dari kayu bulat, ujung – ujungnya diruncingkan, berengsel besi besar, bercat hitam. Pintu itu digunakan sebagai jalan keluar – masuk
kompleks peternakan sapi, yang sekelilingnya berpagar kayu bulat.
Kompleks peternakan sapi itu dewasa ini menjadi kompleks Pemadam
Kebakaran dan Kompleks polisi Resort Keramatjati. Sampai tahun tujuh
puluhan kompleks tersebut masih biasa disebut budreh, ucapan penduduk
umum untuk kata boerderij, yang berarti kompleks pertanian dan atau
peternakan. Kompleks peternakan tersebut merupakan salah satu
bagian dari Tanah Partikelir Tanjoeng Oost, yang pada masa sebelum
Perang Dunia Kedua terkenal akan hasil peternakannya, terutama susu
segar untuk konsumsi orang – orang Belanda di Batavia.
CONDET
|
condet tempo dulu |
|
Kawasan
Condet meliputi tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Batuampar, Kampung
Tengah (dahulu disebut Kampung Gedong), dan Balekambang termasuk wilayah
Kecamatan Kramatjati, Kotamadya Jakarta Timur. Nama Condet
berasal dari nama sebuah anak sungai Ci Liwung, yaitu Ci Ondet. Ondet,
atau ondeh, atau ondeh – ondeh, adalah nama pohon yang nama ilmiahnya
Antidesma diandrum Sprg.,termasuk famili Antidesmaeae (Fillet,
1888:128), semacam pohon buni, yang buahnya biasa dimakan.
Data
tertulis pertama yang menyinggung – nyinggung Condet adalah catatan
perjalanan Abraham van Riebeeck, waktu masih menjadi Direktur Jenderal
VOC di Batavia ( sebelum menjadi Gubernur Jendral ). Dalam catatan
tersebut, pada tanggal 24 September 1709 Van Riebeck beserta
rombongannya berjalan melalui anak sungai Ci Ondet “Over mijin lant
Paroeng Combale, Ratudjaja, Depok, Sringsing naar het hooft van de
spruijt Tsji Ondet”,..(De Haan 1911: 320).
Keterangan kedua
terdapat dalam surat wasiat Pangeran Purbaya, yang dibuat sebelum
berangkat ke pembuangan di Nagapatman, disahkan oleh Notaris Reguleth
tertanggal 25 April 1716. Dalam surat wasiat itu antara lain tertulis,
bahwa Pangeran Purbaya menghibahkan beberapa rumah dan sejumlah kerbau
di Condet kepada anak – anak dan istrinya yang ditinggalkan (De Haan,
1920:250).
Keterangan ketiga adalah Resolusi pimpinan Kompeni di
Batavia tertanggal 8 Juni 1753, yaitu keputusan tentang penjualan tanah
di Condet seluas 816 morgen (52.530 ha), seharga 800 ringgit kepada
frederik willem Freijer. Kemudian kawasan Condet menjadi bagian dari
tanah partikelir Tandjoeng, Oost, atau Groeneveld (De Haan 1910:51).
BATU AMPAR
|
batuampar tempo dulu |
Batu
Ampar yang merupakan bagian dari kawasan Condet, bahkan biasa disebut
Condet Batuampar, dewasa ini menjadi sebuah kelurahan, Kelurahan
Batuampar, Kecamatan Keramatjati, Kotamadya Jakarta Timur. Wilayah
kelurahan Batuampar di sebelah barat berbatasan dengan wilayah Kelurahan
Balekambang, (lengkapnya Condet Balekambang), yang dalam sejarahnya
berkaitan satu sama lain.
Ada legenda yang melekat pada nama
tempat tersebut sebagaimana diceritakan oleh orang – orang tua di Condet
kepada Ran Ramelan, penulis buku kecil berjudul Condet, sebagai
berikut.
Pada jaman dulu ada sepasang suami istri, namanya
Pangeran Geger dan Nyai Polong, memeliki beberapa orang anak. Salah
seorang anaknya, perempuan, diberi nama Siti Maemunah, terkenal sangat
cantik. Waktu Maemunah sudah dewasa dilamar oleh Pangeran Tenggara atau
Tonggara asal Makasar yang tinggal di sebelah timur Condet, untuk salah
seorang anaknya, bernama Pangeran Astawana.
Supaya dibangunkan
sebuah rumah dan sebuah tempat bersenang – senang di atas empang, dekat
kali Ciliwung, yang harus selesai dalam waktu satu malam. Permintaan itu
disanggupi dan terbukti, menurut sahibulhikayat, esok harinya sudah
tersedia rumah dan sebuah bale di sebuah empang di pinggir kali Cliwung,
sekaligus dihubungkan dengan jalan yang diampari dengan batu, mulai
dari tempat kediaman keluarga Pangeran Tenggara .
Demikianlah,
menurut cerita, tempat yang dilalui jalan yang diampari batu itu
selanjutnya disebut Batuampar, dan bale (Balai) peristirahatan yang
seolah – olah mengambang di atas air kolam dijadikan nama tempat .
Balekambang.
Pada awal abad keduapuluh di Batuampar terdapat
perguruan silat yang dipimpin antara lain oleh Maliki dan Modin
(Pusponegoro, 1984, IV:295). Pada tahun 1986, seorang guru silat di
Batuampar, Saaman, terpilih sebagai salah seorang tenaga pengajar ilmu
bela diri itu di Negeri Belanda, selama dua tahun. Tidak mustahil,
kemahiran Saaman sebagai pesilat, sehingga terpilih menjadi pengajar di
mancanegara itu, adalah kemahiran turun – temurun.
CILILITAN
|
cililitan tempo dulu |
Kawasan
Cililitan dahulu terbentang dari sungai Ci Liwung di sebelah barat,
sampai sungai Ci Pinang di sebelah timur. Sebelah selatan berbatasan
dengan kawasan Kampung Makasar dan Condet. Di sebelah utara berbatasan
dengan kawasan Cawang . Bagian sebelah barat Jalan Dewi Sartika sekarang
sebatas simpangan Jalan Kalibata, biasa disebut Cililitan Kecil,
sedangkan yang terletak disebelah timur Jalan Raya Bogor, dikenal dengan
nama Cililitan Besar. Dewasa ini nama Cililitan dijadikan nama
kelurahan, Kelurahan Cililitan, Kecamatan Kramatjati, Kotamadya Jakarta
Timur.
Nama Cililitan diambil dari nama salah satu anak sungai Ci
Cipinang. Dewasa ini anak sungai tersebut sudah tidak ada lagi bekas –
bekasnya. Kata ci, adalah bahasa Sunda, mengandung arti “air sungai”
Lilitan lengkapnya lilitan – kutu, adalah nama semacam perdu yang bahasa
ilmiahnya Pipturus velutinus Wedd., termasuk famili Urticeae (Fillet
1888:201).
Pada pertengahan abad ke- 17 kawasan Cililitan
merupakan bagian dari tanah partikelir Tandjoeng Oost, ketika masih
dimiliki oleh Pieter van der Velde (De Haan 1910:50). Kemudian beberapa
kali berpindah pindah tangan. Sampai diganti namanya menjadi lapangan
Udara Halim Perdanakusumah. Lapangan udara tersebut biasa disebut
Lapangan Udara (vliegeld, kata orang Belanda) Cililitan.
CAWANG
Kawasan Cawang dewasa ini menjadi sebuah kelurahan Kelurahan Cawang, Kecamatan Kramatjati, Kotamadya Jakarta Timur.
|
cawang 1993 |
|
Nama
kawasan tersebut berasal dari nama seorang Letnan Melayu yang mengabdi
kepada Kompeni, yang bermukim disitu bersama pasukan yang dipimpinnya,
bernama Enci Awang.(Awang, mungkin panggilan dari Anwar). Lama –
kelamaan sebutan Enci Awang berubah menjadi Cawang. Letnan Enci Awang
adalah bawahan dari Kapten Wan Abdul Bagus, yang bersama pasukannya
bermukim dikawasan yang sekarang dikenal dengan nama Kampung Melayu,
sebelah selatan Jatinegara.
Kurang jelas, apakah sebagian atau
seluruhnya, pada tahun 1759 Cawang sudah menjadi milik Pieter van den
Velde, di samping tanah – tanah miliknya yang lain seperti Tanjungtimur
atau Groeneveld, Cikeas, Pondokterong, Tanjungpriuk dan Cililitan (De
Haan, 1910:50).
Pada awal abad ke-20 Cawang pernah menjadi buah
bibir, karena disana bermukim seorang pesilat beraliran kebatinan,
bernama Sairin, alias Bapak Cungok. Sairin dituduh oleh pemerintah
kolonial Belanda sebagai dalang kerusuhan di Tangerang pada tahun 1924.
Di samping itu. Ia pun dinyatakan terlibat dalam pemberontakan Entong
Gendut, di Condet tahun 1916. Condet pada waktu itu termasuk bagian
tanah partikelir Tanjung Oost (Poesponegoro 1984, (IV):299 – 300).
Sumber: De Haan 1935: Van Diesen 1989 versi translete bahasa indonesia